aktivitas farmasi

aktivitas farmasi

Minggu, 20 Juni 2010

Kolelitiasis

PENGANTAR
Insiden kolelitiasis atau batu kandung empedu di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang yaitu 5 juta pria dan 15 juta wanita. Pada pemeriksaan autopsi di Amerika, batu kandung empedu ditemukan pada 20 % wanita dan 8 % pria (Admin, 2009).
Insiden kolelitiasis di negara Barat lainnya adalah 20% dan banyak menyerang orang dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi (Yayan, 2008).
Batu empedu yang terletak pada kandung empedu dikenal sebagai kolelitiasis, sedangkan batu empedu yang terletak pada saluran empedu dikenal dengan nama koledokolitiasis (Tantry, 2007).
Saat ini jumlah penderita batu empedu ini cenderung meningkat karena perubahan gaya hidup, seperti misalnya banyaknya makanan cepat saji (fast food) yang dapat menyebabkan kegemukan yang merupakan faktor terjadinya batu empedu. Ketika makan, kandung empedu akan menciut (kontraksi) dan mengeluarkan cairan empedu yang berwarna hijau kecoklatan ke dalam usus halus. Cairan empedu berguna dalam penyerapan lemak dan beberapa vitamin (vit. A,D, E, dan K).

ANATOMI KANDUNG EMPEDU
Kandung empedu merupakan kantong berbentuk buah pear yang terletak langsung di bawah lobus kanan hati. Empedu yang disekresikan terus-menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri, yang segera bersatu membentuk duktus hepatikus kommunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus koledokus. Pada banyak orang, duktus koledokus bersatu dengan duktus pankreatikus membentuk ampula Vater (bagian melebar pada saluran yang bersatu) sebelum bermuara ke usus halus. Bagian terminal dari ke dua saluran ini dan ampula dikelilingi oleh serabut otot sirkular, dikenal sebagai sfinker Oddi (Price, 1984).
Kandung empedu terbagi dalam sebuah fundus, badan , dan leher dan terdiri atas tiga pembungkus yaitu serosa peritoneal (luar), jaringan otot tak bergaris (tengah), dan di sebelah dalam terdapat membrane mukosa yang berhubungan dengan lapisan saluran empedu (Pearce, 2002).


FISIOLOGI KANDUNG EMPEDU dan GETAH EMPEDU
Fungsi utama kandung empedu adalah menyimpan dan memekatkan empedu. Empedu dari hati tidak dapat langsung masuk ke dalam duodenum. Sehingga setelah melewati duktus hepatikus, empedu masuk ke duktus sistikus dan kandung empedu. Dalam kandung empedu pembuluh darah dan limfe mengabsorbsi air dan garam-garam anorganik, sehingga empedu kandung empedu 10 kali lebih pekat dibandingkan empedu hati. Kemudian kandung empedu dikosongkan dalam duodenum oleh kontraksi simultan otot dan relaksasi sfinkter Oddi. Adanya lemak makanan merupakan rangsang terkuat kontraksi (Price, 1984).
Getah empedu adalah cairan alkali yang disekretkan oleh sel hati. Jumlah yang setiap hari dikeluarkan dalam seorang ialah dari 500 sampai 1000ccm yang sekresinya berjalan terus menerus, tetapi produksinya dipercepat sewaktu pencernaan, khususnya pencernaan lemak. Delapan puluh persen dari getah empedu terdiri atas air, garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, musin dan zat lain (Pearce, 2002).

Mekanisme sekresi dan ekskresi bilirubin
Sekitar 85% bilirubin dibentuk oleh pemecahan eritrosit tua dalam sistem retikuloendotelial dan 15% berasal dari destruksi sel eritrosit matang dalam sumsum tulang dan dari hati. Globin berdisosiasi dengan hem, lalu hem diubah menjadi biliverdin. Biliverdin membentuk bilirubin tak terkonjugasi. Bilirubin tak terkonjugasi terikat lemah dengan albumin dengan sifat larut dalam lipid, tidak larut air, dan tidak dapat diekskresikan dalam urin. Bilirubin ini dikonjugasikan dengan asam glukuronat dalam retikulum endoplasma sel hati. Bilirubin terkonjugasi memiliki sifat tidak larut dalam lipid, larut air, dan dapat diekskresikan dalam urin. Bilirubin merupakan salah satu komposisi dalam empedu
Masing-masing sel hati terletak dekat dengan beberapa kanalikulus yang mengalir ke dalam duktus biliaris intralobulus dan duktus-duktus ini bergabung melalui duktus biliaris antar lobulus membentuk duktus hepatikus kanan dan kiri. Lalu masuk ke duktus hepatic kommunis lalu ke duktus sistikus dan masuk ke dalam kandung empedu.
Setelah makan, kandung empedu berkontraksi , sfingter Oddi relaksasi dan empedu mengalir ke dalam duodenum. Empedu dikeluarkan dari kandung empedu akan dialirkan ke duktus koledokus yang merupakan lanjutan dari duktus sistikus dan duktus hepatikus. Duktus koledokus kemudian membawa empedu ke bagian atas dari duodenum, dimana empedu mulai membantu proses pemecahan lemak di dalam makanan. Sebagian komponen empedu diserap ulang dalam usus kemudian dieksresikan kembali oleh hati.
Di dalam usus, bakteri usus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi sterkobilin, yang mewarnai feses, dan beberapa diabsorpsi kembali oleh aliran darah dan membuat warna pada urine, yaitu urobilin. Pigmen empedu hanya bahan ekskresi yang tidak mempunyai pengaruh atas pencernaan.

Fungsi garam empedu adalah:
• bersifat digestif
• memperlancar kerja enzim lipase dalam memecah lemak
• membantu pengabsorbsian lemak yang telah dicernakan (gliserin dan asam lemak) dengan cara menurunkan tegangan permukaan dan memperbesar daya tembus endothelium yang menutupi vili usus (Admin, 2009).

PATOFISIOLOGI
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa salah satu penyebab kolelitiasis adalah karena adanya kolesterol. Pada keadaan normal, kolesterol yang sifatnya hidrofob dapat diatasi dengan adanya garam empedu dan lesitin yang dihasilkan dan berada di dalam kandung empedu. Garam empedu, lesitin, dan kolesterol akan membentuk misel agar kolesterol yang semula tidak larut dalam cairan empedu dapat larut dan dibawa ke saluran pencernaan berikutnya. Untuk membawa satu molekul kolesterol dibutuhkan masing-masing tujuh molekul garam empedu dan lesitin. Jika konsentrasi atau jumlah molekul dalam kandung empedu lebih banyak dibandingkan dengan garam empedu maupun lesitin maka cairan empedu akan tersupersaturasi dengan kolesterol dan terbentuklah absorbs kolesterol yang nantinya akan membentuk gumpalan seperti batu di dalam kandung empedu (Leonard, 2001).
Jika batu ini keluar dari kandung empedu dan masuk dalam duktus sistikus, ini akan menyebabkan rasa sakit pada perut yang sering disebut kolik bilier. Rasa sakit ini dihasilkan karena adanya gesekan antara dinding dengan batu tersebut karena adanya kontraksi oleh kandung empedu tersebut. Batu kandung empedu dapat migrasi masuk ke duktus koledokus melalui duktus sistikus (koledokolitiasis sekunder) atau batu empedu dapat juga terbentuk di dalam saluran empedu (koledokolitiasis primer). Perjalanan penyakit koledokolitiasis sangat bervariasi dan sulit diramalkan yaitu mulai dari tanpa gejala sampai dengan timbulnya ikterus obstruktif yang nyata (Leonard, 2001).
Batu saluran empedu (BSE) kecil dapat masuk ke duodenum spontan tanpa menimbulkan gejala atau menyebabkan obstruksi temporer di ampula vateri sehingga timbul pankreatitis akut dan lalu masuk ke duodenum (gallstone pancreatitis). BSE yang tidak keluar spontan akan tetap berada dalam saluran empedu dan dapat membesar. Gambaran klinis koledokolitiasis didominasi penyulitnya seperti ikterus obstruktif, kolangitis dan pancreatitis (Sodeman, 1974).
Pembentukan batu Kolesterol melalui tiga fase :
a. Fase Supersaturasi
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio seperti ini kolesterol akan mengendap.
b. Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam empedu.
c. Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut (Admin, 2009)
Batu bilirubin dibagi menjadi dua kelompok :
a. Batu Calcium bilirubinat (batu infeksi)
b. Batu pigmen murni (batu non infeksi)
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
a. Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja glukuronidase.
b. Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti batu adalah dari cacing tambang (Admin, 2009).

(Pri, 2009)
GEJALA
Umumnya batu empedu tidak menimbulkan gejala jika masih terdapat dalam kandung empedu, namun akan terjadi gejala-gejala berikut setelah sampai di saluran empedu.
1. Rasa nyeri dan kolik bilier Jika duktus sistikus tersumbat oleh batu empedu, kandung empedu akan mengalami distensi dan akhirnya infeksi. Pasien akan menderita panas dan mungkin teraba massa padat pada abdomen. Pasien dapat mengalami kolik bilier disertai nyeri hebat pada abdomen kuadaran kanan atas yang menjalar ke punggung atau bahu kanan; rasa nyeri ini biasanya disertai mual dan muntah dan bertambah hebat dalam makan makanan dalam porsi besar. Pada sebagian pasien rasa nyeri bukan bersifat kolik melainkan persisten. Serangan kolik bilier semacam ini disebabkan kontraksi kandung empedu yang tidak dapat mengalirkan empedu keluar akibat tersumbatnya saluran oleh batu. Dalam keadaan distensi, bagian fundus kandung empedu akan menyentuh dinding abdomen pada daerah kartilago kosta 9 dan 10 kanan. Sentuhan ini menimbulkan nyeri tekan yang mencolok pada kuadran kanan atas ketika pasien melakukan inspirasi dalam dan menghambat pengembangan rongga dada.
2. Ikterus Obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak lagi dibawa kedalam duodenum akan diserap oleh darah dan penyerapan empedu ini membuat kulit dan menbran mukosa berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejal gatal-gatal pada kulit.
3. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi diwarnai oleh pigmen empedu aka tampak kelabu, dan biasanya pekat yang disebut “Clay-colored ”
4. Defisiensi vitamin Obstruksi aliran empedu juga akan mengganggu absorbsi vitamin A,D,E,K yang larut lemak. Karena itu pasien dapat memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi bilier berlangsung lama. Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal (Pri, 2009).

PENCEGAHAN
1. Menghindari makanan yang banyak mengandung kolesterol.
2. Menjaga berat badan agar tetap normal
3. Mengkonsumsi makanan yang berserat
(Anna, 2008)

FAKTOR RESIKO
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun, semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin. Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis. Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas pengosongan kandung empedu,
2. Usia. Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda,
3. Berat badan (BMI). Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga menguras garam empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu,
4. Makanan. Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu,
5. Riwayat keluarga. Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga¬,
6. Aktifitas fisik. Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit berkontraksi,
7. Nutrisi intravena jangka lama. Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi meningkat dalam kandung empedu
8. Wanita yang menggunakan pil kontrasepsi lebih beresiko terkena kolelitiasis. Ini dikarenakan pil KB mengandung estrogen buatan yang dapat meningkatkan saturasi dari cairan empedu. (Yayan, 2008)
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti dilakukan dengan pemeriksaan radiologi
1. Pemeriksaan Laboratorium
Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk batu kandung empedu, kecuali bila terjadi komplikasi kolesistitis akut bisa didapatkan leukositosis, kenaikan kadar bilirubin darah dan fosfatase alkali.
2. Foto Polos Abdomen
Kurang lebih 10 % dari batu kandung empedu bersifat radio opak sehingga terlihat pada foto polos abdomen.
3. Kolesistografi
Foto dengan pemberian kontras baik oral maupun intravena diharapkan batu yang tembus sinar akan terlihat. Jika kandung empedu tidak tervisualisasikan sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang dengan dosis ganda zat kontras. Goldberg dan kawan-kawan menyatakan bahwa reliabilitas pemeriksaan kolesistografi oral dalam mengindentifikasikan batu kandung empedu kurang lebih 75 %. Bila kadar bilirubin serum lebih dari 3 mg% kolesistografi tidak dikerjakan karena zat kontras tidak diekskresi ke saluran empedu.

4. Ultra Sonografi
Keuntungan:
• Sensitivitas tinggi (98%)
• Spesifitas 97,7%
• Mudah dikerjakan
• Aman
• Tidak perlu persiapan khusus
• Dapat dilakukan pada penderita sakit berat, alergi kontras, wanita hamil
5. Tomografi Komputer
Keunggulan Tomografi Komputer adalah dengan memperoleh potongan obyek gambar suara secara menyeluruh tanpa tumpang tindih dengan organ lain. Karena mahalnya biaya pemeriksaan, maka alat ini bukan merupakan pilihan utama.

DAFTAR PUSTAKA
Admin, 2009, Kolelitiasis, www.Seputar-Kedokteran.html, diakses tanggal 16 April 2009
Anna, 2008, Batu Empedu, www.OborBerkatIndonesia.html , diakses tanggal 16 April 2009
Leonard, V., 2001, An Introduction to Human Disease Pathology, John and Barlett Publisher, London
Pearce, E., 2002, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta
Price, S., 1984, Patofisiologi Konsep Klinik, EGC, Jakarta
Sodeman, S., 1974, Pathology Physiologi Mechanisms of Diasease, Saunders Co., Philadelphia
Tantri, 2007, Batu Empedu, www.medicastore/batu-empedu.html, diakses tanggal 17 April 2009
Yayan, 2008, Kolelitiasis (Gallbladder Stones), www.FK_UR.com, diakses tanggal 16 April 2009

Mekanisme Fenitoin - Antikonvulsan

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini banyak orang yang sering mengalami kejang baik karena penyakit turunan maupun karena suatu penyakit yang muncul saat dewasa. Penyebab terjadinya kejang antara lain trauma terutama pada kepala, encephalitis (radang otak), obat, birth trauma (bayi lahir dengan cara vacuum-kena kulit kepala-trauma), penghentian obat depresan secara tiba-tiba, tumor, demam tinggi, hipoglikemia, asidosis, alkalosis, hipokalsemia, idiopatik (Dexa, 2008).
Kejang merupakan salah satu gejala yang sering dialami oleh penderita epilepsi. Epilepsi merupakan abnormalitas kondisi otak yang dicirikan dengan kerentanan untuk kejang berulang (peristiwa serangan berat, dihubungkan dengan ketidaknormalan pengeluaran elektrik dari neuron pada otak). Kejang merupakan manifestasi abnormalitas kelistrikan pada otak yang menyebabkan perubahan sensorik, motorik, tingkah laku (Ikawati, 2008).
Terapi untuk epilepsi yaitu menggunakan terapi non farmakologis dan terapi farmakologis. Terapi non farmakologi bisa dengan istrirahat yang cukup karena kelelahan yang berlebihan dapat mencetuskan serangan epilepsi, belajar mengendalikan stress dengan menggunakan latihan tarik nafas panjang dan teknik relaksasi lainnya. Sedangkan terapi farmakologis yaitu dengan menggunakan Obat Anti Epilepsi (OAE).
Salah satu obat yang digunakan oleh para penderita epilepsi adalah fenitoin yang merupakan obat antikonvulsan yang sering digunakan sebagai obat golongan antiepilepsi golongan hidantoin. Fenitoin memiliki waktu paruh yang cukup lama sehingga frekuensi pemberian pada penderita epilepsi dapat diperkecil. Meskipun demikian, fenitoin memiliki efek samping dan sifat farmakokinetikanya sukar untuk diprediksi. Selain itu, dalam pemberian fenitoin perlu adanya Terapeutic Drugs Monitoring sehingga dapat mengurangi terjadinya efek yang tidak diinginkan (Rang, 2006). Oleh karena itu, kami memilih fenitoin untuk topik makalah kali ini agar dapat memahami mekanisme kerja sehingga dapat mengaplikasikan pengobatan fenitoin dengan tepat.


PENELAAHAN PUSTAKA
A. Epilepsi
Epilepsi merupakan suatu keadaan yang terjadi pada seseorang dengan gejala kejang abnormal yang merupakan penyakit kronik serta terjadi secara berkelanjutan. Klasifikasi epilepsi meliputi:
1. Bangkitan umum primer (epilepsi umum):
• bangkitan tonik klonik (GrandMal)
• bangkitan lena (Petit Mal/absences)
gangguan kesadaran sesaat disertai mata terfiksasi (staring) dengan terhentinya aktivitas yang sedang berjalan, berlangsung 30detik
• bangkitan lena tidak khas, bangkitan tonik, bangkitan klonik, bangkitan atonik, infantil spasm.
2. Bangkitan parsial/fokal/lokal
• Bangkitan parsial sederhana: gejala tergantung korteks yang teraktivasi mototrik (gerakan), sensorik (parestesia), kesadaran baik, lama serangan (20-60 detik)
• Bangkitan parsial kompleks : kesadaran terganggu, gerakan tanpa tujuan, terbatas, mengunyah, gerakan tangan, lama serangan (30 detik sampai 2 menit)
• Bangkitan parsial yang berkembang menjadi bangkitan umum
bangkitan 1, atau 2 disusul gerakan tonik-klonik selama 1-2 menit.
3. Bangkitan lain-lain
• Bangkitan neonatal
• Kejang invatil (Lowenstein, 2001).
Mekanisme terjadinya epilepsy ditandai dengan timbulnya kejang. Kejang dipengaruhi oleh fase inisiasi dan propagasi. Pada fase inisiasi ada dua macam peristiwa yang merupakan hasil dari agregasi saraf, yaitu:
Peningkatan letupan potensial listrik, karena proses depolarisasi yang terlalu lama pada membrane neural sebagai akibat influx Ca2+ di ekstrasel. Hal ini menyebabkan terbukanya kanal Na+ sehingga terjadinya influk Na+ yang menyebabkan berulangnya potensial aksi. Influx ini akan menimbulkan eksitasi yang dapat memindahkan neurotransmiter salah satunya asetilkolinesterase. Dengan adanya peningkatan jumlah asetilkolinesterase maka kontraksi otot pun terjadi secara berlebih. Kontraksi otot yang berlebih ini jika tidak dihentikan akan mengakibatkan terjadinya kejang.
B. Antikonvulsi
Antikonvulsi digunakan untuk mencegah dan mengabati bangkitan epilepsi. Dimana epilepsi adalah nama umum untuk sekelompok gangguan atau penyakit susunan saraf pusat ayang timbul spontan dengan episoda singkat (disebut bangkitan atau seizure); dengan gejala utama kesadaran menurun sampai hilang. Bangkitan ini biasanya disertai kejang (konvulsi), hiperaktivitas otonomik, gangguan sensorik atau psikik dan selalu disertai gambaran letupan EEG abnormal dan eksesif. Bangkitan epilepsi merupakan fenomena klinis yang berkaitan dengan letupan listrik dan depolarisasi abnormal dan eksesif, terjadi disuatu fokus dalam otak yang menyebabkan bangkitan paroksilamal (Dexa, 2008).
Terdapat 2 mekanisme antikonvulsi yang penting yaitu:
1. Mencegah terjadinya letupan depolarisasi eksesif pada neuron epileptik dalam fokus epilepsi.
2. Dengan mencegah terjadinya letupan depolarisasi pada neuron normal akibat pengaruh dari fokus epilepsi.

C. Kanal ion
Kanal ion memainkan peranan penting dalam banyak tipe sel. Maka kanal ion merupakan salah satu target aksi favorit untuk penemuan obat baru. Pada dasarnya kanal ion merupakan suatu protein membrane yang terdapat dalam lapisan lipid membrane sel yang umumnya bersifat spesifik terhadap ion tertentu. Ia terdiri dari beberapa sub unit protein yang tersusun membentuk porus. Pembukaan dan penutupan kanal ion dapat diatur oleh suatu senyawa kimia, sinyal elektrik, atau kekuatan mekanik tergantung pada jenis kanalnya. Dengan mengatur dan mengontrol aliran ion, kanal ion dapat menjaga muatan negative yang dimiliki oleh sel pada kondisi istirahat (Ikawati, 2008).
Berdasarkan aktivitasnya dikenal sedikitnya ada 5 macam kanal ion, yaitu: kanal ion teraktivasi voltage, kanal ion teraktivasi ligan, kanal ion teraktivasi molekul intrasel dan signal, kanal ion teraktivasi oleh kekuatan mekanik, kanal ion terkait protein G (Ikawati, 2008).
Kanal ion teraktivasi voltage berespon terhadap adanya perubahan potensial transmembran. Kanal akan membuka sebagai respon terhadap terjadinya depolarisasi dan akan menutup jika terjadi hiperpolarisasi. Contohnya adalah kanal ion Na+ dan K+ pada sel saraf dan otot, dank anal Ca++ yang mengontrol pelepasan neurotransmiter pada ujung saraf prasinaptik (Ikawati, 2008).
Muatan di dalam kompartemen intrasel sedikit lebih negative daripada ekstrasel dengan perbedaan sekitar 60-80 mV. Karena bagian intrasel lebih negative, sedangkan kompartemen ekstrasel sangat besar sehingga perubahannya menjadi tidak signifikan. Dapat dikatakan bahwa muatan intrasel -60 sampai-80 mV, sedangkan muatan ekstrasel adalah 0 mV. Ini dinamakan resting potential atau potensial istirahat (Ikawati, 2008).
Sel menjaga polaritasnya dengan menjaga keseimbangan ion Na+ dan K+. jika kanal ion Na+ membuka dan menyebabkan ion Na+ masuk ke dalam sel, maka gradient konsentrasi Na+ di luar dan di dalam sel akan berkurang. Karena ion Na+ bermuatan positif maka ia akan menambah muatan positif dalam kompartemen sel (Ikawati, 2008).
Depolarisasi membran adalah berkurangnya perbedaan polaritas pada membrane sel antara intra dan ekstra sel. Depolarisasi bertanggung jawab terhadap penerusan impuls saraf di sepanjang akson. Repolarisasi merupakan proses dimana kanal ion K+ akan membuka dan menyebabkan kembalinya polaritas. Namun jika kanal K+ membuka secara berlebihan, maka ion K+ akan keluar dan menyebabkan kompartemen dalam sel semakin negative sehingga perbedaan polaritas meningkat. Meningkatnya perbedaan polaritas disebut hiperpolarisasi membran. Hiperpolarisasi dapat menyebabkan penghambatan penerusan potensial aksi sehingga menghasilkan efek depresi system saraf pusat (Ikawati, 2008).
Dalam system biologi terdapat sedikitnya 4 kanal ion yang berperan penting antara lain kanal ion Na+,K+,Ca++, dan Cl-. Kanal ion Na+ bertanggung jawab meneruskan potensi dengan membuka jika terjadi depolarisasi membrane. Depolarisasi dapat menyebabkan kanal Na disebelahnya membuka dan menyebabkan depolarisasi kanal tersebut, lalu depolarisasi tadi akan menyebabkan pembukaan kanal di sebelahnya lagi dan seterusnya sehingga potensial akan terhantar sepanjang akson sampai ke ujung saraf.peristiwa ini diebut propagasi potensial aksi. Propagasi potensial aksi hanya berjalan pada satu arah dan tidak berbalik arah, sebab kanal ion yang terbuka tadi selanjutnya menjadi inaktif dan tidak terpengaruh adanya depolarisasi (Ikawati, 2008).
Proses penutupan kanal ion merupakan proses kebalikan dari pembukaannya, dimana terjadi perubahan konformasi untuk kembali pada kondisi istirahatnya. Peristiwa ini disebut proses deaktivasi atau repolarisasi.selain deaktivasi, adapun proses inaktivasi. Inaktivasi diduga disebabkan oleh adanya gerakan segmen bermuatan positif menuju kanal ion yang terbuka, sehingga kanal ion mejadi tertutup (Ikawati, 2008).

(Ikawati, 2008)


D. Fenitoin


- Nama & Struktur Kimia : 5,5-Difenilhidantoin
- Sifat Fisikokimia : Serbuk, putih, tidak berbau, melebur pada suhu lebih kurang 295°C. Kelarutan praktis tidak larut dalam air, larut dalam etanol panas, sukar larut dalam etanol dingin, dalam kloroform dan dalam eter. (FI IV) (Anonim, 2008)






Mekanisme Kerja Fenitoin sebagai Antikonvulsan

A. Mekanisme kerja fenitoin
Fenitoin merupakan obat antikonvulsan yang termasuk dalam golongan hidantoin. Fungsi dari fenitoin ini adalah memblokir saluran-saluran Na yang berperan penting dalam perbanyakan muatan listrik.


(Ikawati, 2008)
Percobaan klem tegangan menunjukkan bahwa fenitoin meningkatkan proporsi kanal Na+ inaktif untuk semua potensial membran yang diberikan. Fenitoin cenderung terikat pada kanal Na+ yang inaktif atau tertutup, menstabilkan kanal dalam keadaan inaktif dan mencegahnya kembali ke keadaan istirahat yang harus dilalui sebelum kanal membuka kembali. Depolarisasi repetitif berfrekuensi tinggi meningkatkan proporsi kanal Na+ inaktif dan karena kanal Na+ rentan terhadap blokade oleh fenitoin, aliran Na+ berkurang secara progresif sampai akhirnya tidak cukup untuk membangkitkan potensial aksi. Transmisi neuronal pada frekuensi normal relatif tidak dipengaruhi oleh fenitoin karena proporsi Na+ yang jauh lebih kecil berada dalam keadaan inaktif.
B. Efek samping
Pemakainan fenitoin yang terlalu berlebih dan lebih dari dosis akan menimbulkan beberapa efek samping, antara lain:
• Susunan Saraf pusat: manifestasi paling sering yang berhubungan dengan terapi fenitoin dengan SSP biasanya tergantung dosis. Efek samping ini berupa nistagmus, ataksia, banyak bicara, koordinasi menurun dan konfusi mental, pusing, susah tidur, gelisah, kejang motorik dan sakit kepala.
• Saluran cerna: mual, muntah dan konstipasi.
• Kulit: kelainan dermatologik berupa ruam kulit skarlatimiform atau morbiliform kadang-kadang disrtai dengan demam. Bentuk lebih serius dapat berupa dermatitis eksfoliativ, lupus eritematosus, sindroma Stevens-Johnson dan nekrolisis epidermal toksik.
• Sistem hemopoetik: efek samping yang dapat bersifat fatal ini kadang-kadang dilaporkan terjadi. Hal ini dapat berupa trombositopenia leukopenia, granulositopenia, agranulositosis, pansitopenia dengan atau tanpa supresi sumsum tulang.
• Jaringan penunjang: muka menjadi kasar, bibir melebar, hiperplasia gusi, hipertrikosis dan penyakit peyroni.
• Kardiovaskular: periarterisis nodosa.
• Imunologik: sindroma sensitifitas, lupus eritromatosus sistemik dan kelainan immunoglobulin.
• Teratogenik : kelainan jantung atau bibir sumbing


Daftar Pustaka

Harkness, R., 1989, Interaksi Obat, Penerbit ITB, Bandung
Hoan, T., 2006, Obat-Obat Penting, 419, Gramedia, Jakarta
Ikawati, Z., 2008, Pengantar Farmakologi Molekuler, 6-16, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Lawenstein, 2001, Principles of Internal Medicine, 2354-2359, Mc Graw Hill, New York
Rang, Dale, 2006, Pharmacology, 555, Churchill, Livingstone
Anonim, 2008, Informasi Obat, http://www.diskes.jabarprov.go.id/index, diakses tanggal 20 Oktober 2009
Ikawati, Z., 2008, Target of Drug Action, http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/target-of-drug-action.pdf, diakses tanggal 15 Oktober 2009
Ikawati, Z., 2008, Epilepsy, http://zulliesikawati.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/epilepsy.pdf, diakses tanggal 16 Oktober 2009
Medica, D., 2008, Epilepsy, www.dexa-medica, diakses tanggal 12 Oktober 2009

Sabtu, 19 Juni 2010

Jeruju sebagai obat Hepatitis

HAL-HAL MENGENAI JERUJU (Acanthus ilicifolius L.)

Klasifikasi
Kingdom : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Bangsa : Scrophulariales
Suku : Acanthaceae
Marga : Acanthus
Jenis : Acanthus ilicifolius L.
Sinonim : Acanthus ebracteatus Val , Acanthus volubilis Wallich
Nama Umum : Jeruju
Nama Daerah : Daruju (Jawa)
Nama Asing : Sea Holly (Inggris),

Deskripsi
Habitus : Semak, tahunan, tinggi 0,75-1.5 m, berupa tumbuhan mangrove
Batang : Berkayu, bulat, permukaan licin, berduri pada sekitar duduk daun, bercabang, hijau.
Daun : Tunggal, bersilang berhadapan, bulat panjang, ujung dan pangkal runcing, tepi berduri, panjang 10-20 cm, lebar 5-6 cm, perlulangan menyirip, hijau.
Bunga : Majemuk, bentuk bulir, di ujung batang, panjang 6-30 cm, daun pelindung berlapis dua, bagian dalam lebih kecil, gugur sebelum bunga mekar, kelopak panjang 12,5-15 mm, berbagi empat, mahkota panjang 3-4,5 cm, bertabung putih, bibir bulat telur, ujung bertaju tiga, ungu kebiruan.
Buah : Kotak, bulat telur, panjang ± 3 cm, coklat kehitaman.
Biji : Bentuk ginjal, dua sampai empat, hitam.
Akar : Tunggang, putih kekuningan.
Perbanyakan melalui biji
Persebarannya
Acanthus ilicifolius Linn. umum sekali tumbuh di tanah yang mengandung garam, di muara sungai, tepi pantai, dan di tanah rawa dan hutan bakau dekat ke pantai, serta tanah yang bersifat payau. Spesies ini jarang dijumpai di pedalaman. Jenis ini dapat dijumpai dari India Selatan dan Sri Lanka sampai Indo-Cina dan juga Indonesia. Spesies ini masih banyak tersebar.
Kandungan
Secara keseluruhan tanaman daruju mengandung saponin, flavonoida dan polifenot, asam fenolat, asam p-kumarat, Asam p-hidroksi benzoate, di samping itu bijinya juga mengandung alkaloida. Secara spesifik akar jeruju mengandung flavon dengan kadar tinggi dan asam amino.

PATOFISIOLOGIS HEPATITIS
Penyakit Hepatitis B merupakan salah satu penyakit menular yang berbahaya di dunia. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Hepatitis B (VHB) yang menyerang hati dan menyebabkan peradangan hati akut atau menahun. HBV merupakan virus hepadna (Hepadnaviridae) DNA rantai ganda. Hepatitis B virus yang terdiri dari unsur inti (pusat porsi) dan sekitarnya amplop (mantel luar) (Rubenstein, 2007).
Struktur sel HBV adalah :

Virus hepatitis B berukuran 42-nm double stranded DNA. Virus ini terdiri atas nucleocapsid core (amplop / mantel luar) berukuran 27 mm yang dikelilingi oleh lapisan lipoprotein di bagian luarnya yang berisi antigen permukaan (HBsAg) dan inti terdiri dari DNA dan inti antigen (HBcAg). Di dalam tubuh penderita, virus ini membutuhkan fungsi sel hati untuk berkembang biak. Dia akan menggabungkan DNA-nya dengan DNA penderita. Akibatnya virus ini sulit untuk dihilangkan. Pada umumnya, sel-sel hati dapat tumbuh kembali dengan sisa sedikit kerusakan, tetapi penyembuhannya memerlukan waktu berbulan-bulan dengan diet dan istirahat yang baik (Rubenstein, 2007).
Mekanisme Hepatitis B
Hepatitis B virus yang reproduces dalam sel hati, tetapi virus itu sendiri tidak langsung menyebabkan kerusakan pada hati. Sebaliknya, keberadaan virus memicu suatu respon kekebalan dari tubuh, sebagai tubuh mencoba untuk menghilangkan virus dan sembuh dari infeksi. Tanggapan kekebalan ini menyebabkan radang dan mungkin sungguh-sungguh merusak hati (sirosis) (Rubenstein, 2007 ).
Mekanisme infeksi :
• Mula-mula, HBV menyerang membran sel hati. Virus ini kemudian masuk ke dalam sel hati.
• Partikel inti yang mengandung DNA dilepaskan, dan DNA-nya berpolimerase ke dalam nukleus sel hati.
• Polimerase DNA ini menyebabkan sel hati membuat kopian DNA HBV dari RNA-m.
• Sel ini kemudian memasang “kopian hidup” dari virus. Melalui cara ini, versi dari HBV dikonstruksikan lewat sel hati.
• Karena memproduksi protein permukaan secara berlebihan, selnya tetap bersatu membentuk bulatan kecil atau rantai, yang memberikan penampilan khas pada sampel darah dibawah mikroskop.
• Kopian dari virus dan antigen permukaan itu dilepaskan dari membran sel hati ke dalam aliran darah, dan dari sana dapat menginfeksi sel hati lainnya dan bereplikasi secara efektif.

FARMAKODINAMIKA
Pengobatan hepatitisakut dan kronik menggunakan akar daruju lebih banyak dikonsumsi secara per oral. Ramuan ini akan melalui hati terlebih dulu yang dikenal sebagai first pass effect. Oleh karena itu ramuan untuk pengobatan hati lebih baik diberikan secara per oral karena akan memberikan efek lebih optimal. Ramuan ini akan diabsorbsi lagi di saluran pencernaan seperti usus halus karena di usus halus merupakan tempat penyerapan paling luas. Senyawa yang telah diserap akan didistribusikan melalui darah dan nantinya akan menuju ke hati lagi. Dalam hati senyawa akan mengalami metabolisme dan nantinya akan dikeluarkan melalui urine.
Akar daruju mengandung flavone, flavone merupakan salah satu senyawa bagian dari flavonoid. Mekanisme penghambatan senyawa flavonoida pada virus diduga terjadi melalui penghambatan sintesa asam nukleat (DNA atau RNA) dan pada translasi virion atau pembelahan dari poliprotein dari virus. Percobaan secara klinis menunjukkan bahwa senyawa flavonoida tersebut berpotensi untuk penyembuhan pada penyakit hepatitis-B. Sementara itu, berbagai percobaan lain untuk pengobatan penyakit liver masih terus berlangsung
Flavon menghambatan kerja enzim Cdk-Activating Kinase/CAK sehingga menghambat terbentuknya kompleks Cdk-Cyclin yang aktif. Flavon dapat berikatan dengan protein-protein kinase pada ATP-binding site-nya. Selain itu, flavon juga menghambat proses transduksi sinyal dari faktor pertumbuhan. Flavon mampu menginaktivasi protein-protein yang berperan dalam transduksi sinyal tersebut, misalnya Tirosin Kinase. Pernyataan-pernyataan tersebut menjelaskan kemungkinan terjadinya induksi cell cycle arrest oleh flavon. Dengan mekanisme ini, flavon mampu menghentikan replikasi dari sel-sel hati yang telah rusak, agar tidak semakin merusak hati.

PENDEKATAN PENGOBATAN
Dalam pengobatan hepatitis dengan menggunakan akar daruju lebih merujuk pada pendekatan pengobatan China dengan dasar Yin dan Yang.
Dalam pengobatan Cina, fungsi organ lebih penting dibanding dengan bentuk anatomi maupun letak organ tersebut. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pada pengobatan Cina ada larangan untuk melakukan operasi (membedah tubuh) dan mereka akan mencari kebenaran dengan menggunakan pendekatan metafisik – berlainan dengan pengobatan Barat yang menitikberatkan pada pendekatan material atau tubuh secara fisik.
Penyakit hepatitis menyerang organ hati. Organ hati dalam pengobatan China termasuk organ Yin dengan karakteristik unsur kayu, dan cara pengobatannya dengan Chang Ming (terapi lewat makanan). Unsur kayu berhubungan dengan fungsi-fungsi aktif atau sesuatu yang ada pada tahap bertumbuh. Sakit pada selangkangan, daerah sekitar kelamin, dan hipogastrium (abdomen bawah) memberi indikasi ketidakharmonisan pada meridian hati
Organ Yin (Zang)
Pengobatan Cina menunjuk bahwa Zang terletak di tubuh bagian dalam dan berfungsi menghasilkan, mengtransformasikan, mengatur dan menyimpan subsatnsi utama - Chi, darah, Jing, Shen dan cairan tubuh. Ada 5 organ Yin yang dikenal, yaitu: paru-paru, jantung, limpa, hati dan ginjal.
Penyebab penyakit dalam dasar pengobatan China dapat dipilah menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Eksternal yang terdiri dari 6 faktor, yaitu: angin, dingin, api atau panas, lembab, kering dan panas dari musim panas (summer heat). Pada badan yang sehat terjadi keseimbangan Yin dan Yang. Apabila kemudian tubuh melemah karena ketidakseimbangan Yin dan Yang, fenomena iklim atau cuaca dapat memasuki tubuh dan memberi dampak buruk.
Faktor eksternal yang bertanggungjawab terhadap adanya gangguan pada hati adalah angin. Angin yang berasal dari dalam tubuh biasanya terkait dengan ketidakharmonisan kronis, biasanya, berhubungan dengan organ hati. Hati bertanggung jawab terhadap semua pergerakan yang terjadi dalam tubuh secara teratur dan perlahan, dan apabila terjadi gerakan yang datang mendadak dan tidak teratur, maka kondisi ini disebut juga dengan dampak angin.
b. Internal yang terdiri dari 7 emosi, yaitu: rasa senang, kemarahan, kesedihan, putus asa, suka merenung, rasa takut, ketakutan. Perbedaan antara kesedihan dan suka merenung atau rasa takut dan ketakutan terletak pada intensitasnya. Kualitas-kualitas emosional tidak semuanya membahayakan/membawa penyakit dan semua emosi itu 'melekat' pada setiap individu. Jika emosi berlebihan atau terlalu sedikit muncul dalam jangka waktu lama atau muncul secara mendadak maka akan membuat ketidakharmonisan dan penyakit. Dapat juga terjadi sebaliknya, ketidakharmonisan di dalam tubuh akan memicu ketidakseimbangan emosional
Faktor internal yang dapat memacu ketidakseimbangan dalam hati adalah kemarahan. Kemarahan akan meningkatkan karakter Yang sehingga hati yang memiliki karakter Yin akan berubah menjadi Yang dan hal ini akan menimbulkan penyakit.
Akar daruju bersifat dingin dapat digunakan untuk pengobatan hepatitis. Bila didasarkan dengan prinsip pengobatan China, penyakit hepatitis akan mengurangi karakteristik Yin dalam organ hati, sehingga hati akan menjadi lebih panas dari keadaan normalnya. Akar daruju dengan sifat dinginnya akan mengurangi dan menghambat pengurangan karakteristik Yin pada hati, sehingga diharapkan hati tetap memiliki karakter Yin yang normal.

RAMUAN
• 30-60 gram akar pohon daruju yang dikeringkan dengan cara diangin-anginkan, dan setelah kering kemudian direbus dan disaring. Setelah dingin, ramuan ini baru diminum tiga kali sehari setiap sehabis makan.
• Akar daruju 7 g; Rimpang temu lawak segar 7 g; Herba meniran 7 g; Air 130 ml, Dibuat infus, Diminum 1 kali sehari 100 ml

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2001, www.infopenyakit.com/2007/12/penyakit-hepatitis.html, diakses tanggal 13 Mei 2009
Anonim, 2007, www.litbang.depkes.go.id/aktual/kliping/hepatitis210306.htm, diakses tanggal 13 Mei 2009
Anonim, 2008, http://www.tanaman-obat.com/index.php/gallery-tanaman-obat/85-d-a-r-u-j-u, diakses 12 Maret 2009
Anonim, 2008, http://tanamanherbal.wordpress.com/category/kategori-d/, diakses 12 Maret 2009
Edy, 2008, http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/wp-content/uploads, diakses tanggal 14 Mei 2009
Ebady, 2007, Pharmacodynamic Basis of Herbal Medicine, Taylor Francis, Boca Raton US
Heyne, K. , 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia III, Badan Litbang Departemen Kehutanan, Jakarta
Pearce, 1987, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, PT Gramedia, Jakarta
Rubenstein dkk, 2007, Kedokteran Klinisn ed VI, Erlangga, Jakarta
Soemoharjo, 2008, Hepatitis Virus B ed 2, EGC, Jakarta
Wardiyono, 2009, http://www.kehati.or.id/florakita/browser.php, diakses 12 Maret 2009

maag

MAAG : PENYAKIT HARIAN DI ERA MODERN

Siapa yang tidak tahu penyakit maag? Apakah penyakit ini mengganggu aktivitas? Ya, penyakit maag merupakan penyakit yang sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat dan tetap merajalela dalam kehidupan sehari-hari dan sangat mengganggu aktivitas. Penyakit maag lebih dikenal dengan istilah dyspepsia dalam bahasa kedokteran, dimana dyspepsia yang paling terkenal dan sering menjangkiti masyarakat adalah gastritis (radang lambung) dengan adanya peradangan pada lambung dan peptic ulcer (tukak lambung) dengan adanya “borok” pada dinding mukosa lambung.
Apakah Anda menderita penyakit maag? Iya, jika ada gejala seperti rasa terbakar di daerah ulu hati dan semakin parah saat sedang makan, mual sampai muntah, nafsu makan hilang, lambung (perut) terasa penuh sehabis makan, serta terkadang disertai penurunan berat badan. Hal yang perlu diingat adalah nyeri pada bagian perut, utamanya ulu hati, tidak selalu penyakit maag. Nyeri pada perut dapat diwaspadai sebagai penyakit batu empedu.
Penyebab maag bermacam-macam mulai dari infeksi bakteri Helicobacter pylori, gaya hidup tidak sehat, induksi obat lain seperti antiinflamasi non steroid, konsumsi alkohol terlalu banyak, penyakit autoimun, reflux bilirubin, hingga karena masalah psikis. Di jaman sekarang maag lebih sering ditimbulkan karena infeksi, gaya hidup tak sehat, konsumsi alkohol, dan masalah psikis. Pertemuan di Centers for Disease Control and Prevention di Atlanta, 1991, mengakui bahwa 75% gastritis disebabkan oleh Helicobacter pylori. Infeksi Helicobacter pylori dapat menular melalui peralatan makan yang tak dicuci bersih sehingga gaya hidup yang tidak sehat akan meningkatkan kejadian maag terutama dalam bentuk gastritis kronis.
Masyarakat di era sekarang, khususnya daerah perkotaan telah banyak mengalami perubahan gaya hidup dengan tidak memperhatikan pola dan jenis makanan yang dikonsumsi. Makan tidak tepat waktu karena waktu kerja yang padat dan terjebak kemacetan seringkali terjadi dan tidak bisa dihindari oleh masyarakat yang bekerja di kota besar. Hal itu mengakibatkan timbulnya banyak keluhan terkait saluran cerna seperti penyakit maag yang umumnya disebabkan tingginya produksi asam lambung karena tidak adanya makanan yang masuk untuk diolah di lambung. Masyarakat jaman ini juga lebih menyukai konsumsi makanan berlemak dan pedas untuk memuaskan lidah, dimana makanan berlemak dan pedas dapat merangsang terjadinya inflamasi (peradangan) pada dinding mukosa lambung.
Masalah psikis seperti stress, kelelahan, kejenuhan dalam aktivitas, kerap dialami baik oleh pekerja maupun para pelajar. Masalah psikis juga dapat menyebabkan peningkatan asam lambung. Masalah psikis juga memicu konsumsi alkohol berlebih, dimana alkohol dapat mengiritasi (merangsang) dan mengikis permukaan lambung sehingga asam lambung dapat dengan mudah mengikis permukaan lambung dan menimbulkan gastritis akut.
Terapi yang dibutuhkan dalam mengatasi penyakit maag antara lain antacida yang berfungsi menetralkan asam lambung dan melapisi mukosa lambung. Antasida terdapat dalam bermacam-macam kombinasi, yaitu Aluminium hidroksida; kombinasi Aluminium hidroksida dengan Magnesium hidroksida; kombinasi Aluminium hidroksida dengan Magnesium trisilikat; kombinasi Aluminium hidroksida, Magnesium hidroksida, dan Simetikon; kombinasi Aluminium hidroksida, Magnesium trisilikat dan Dimetilpolisiloksan. Terapi antibiotik berfungsi untuk memerangi infeksi Helicobacter pylori, antara lain Omeprazole, Lanzoprazole, Metronidazole, Amoxicillin, dan Clarithromycin. Terapi lainnya adalah H2 blocker seperti ranitidine yang berfungsi menekan produksi asam lambung. Segala bentuk terapi di atas perlu adanya konsultasi dengan Apoteker untuk mencapai efek terapi yang tepat dan meminimalkan efek samping.
Ada beberapa cara non obat (non-farmakologi) untuk mengurangi peningkatan dan kambuhnya penyakit maag di jaman modern, yaitu dengan pola hidup higienis sehingga dapat menghindari serangan bakteri Helicobacter pylori, makan tepat waktu, menyiapkan makanan yang mudah dikonsumsi dalam waktu cepat, mengurangi makanan berlemak dan pedas, mengurangi dan bahkan menghentikan konsumsi alkohol, luangkan waktu untuk berolahraga dan berekreasi, menciptakan keadaan relax untuk mencegah timbulnya masalah psikis, jangan merokok sebab merokok dapat merusak lapisan pelindung lambung, dan apabila memungkinkan hindari penggunaan obat penghilang nyeri seperi aspirin, ibuprofen, naproxen sebab dapat mengiritasi lambung.


DAFTAR PUSTAKA
Aep,S., 2009, Mengatasi Gangguan Penyakit Maag, Banyu Media, Yogyakarta
Anonim, 2010, Digestive Disorder, http://www.healthsystem.virginia.edu/ UVAHealth/adult_digest/gastrts.cfm, diakses tanggal 14 Mei 2010
Azis, S., 2004., Kembali Sehat dengan Obat, Pustaka Populer Obor, Jakarta
Cohen, S., 2006, Gastritis, http://www.merck.com/mmhe/sec09/ch121/ch121b.html, diakses tanggal 14 Mei 2010
Dugdale, C., 2007, Gastritis, http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001150.htm, diakses tanggal 15 mei 2010
Mukherjee, S., Gastritis, Chronic, http://emedicine.medscape.com/article/176156-overview, diakses tanggal 15 Mei 2010